Kena Sanksi Skors dan DO, Mahasiswa UTI Gugat Pihak Kampus Hingga ke Pengadilan
Sukma_Polinela; Tepat 17, 22, 25 Februari dan 4 Maret 2021, sembilan mahasiswa teknik sipil Universtitas Teknokrat Indonesia (UTI) menerima surat skors dan drop out (DO) secara bertahap.
Mereka yang dikeluarkan dari kampus adalah Vernanda Ade Vamula, Ulil Absor Abdalla, dan Agung Fernando Habeahan. Ketiganya mahasiswa tingkat akhir angkatan 2017.
Sedangkan yang mendapatkan skors, yaitu M Iqbal Surya Putra, Ahmad Mu’fatus Sifa’i, Abdullah Azzam, Handri Kusuma, Afran Rasyid, dan Rahmad Wijaya. Mereka masing-masing diskors satu hingga dua semester.
Penjatuhan sanksi itu setelah mereka melunasi uang kuliah tunggal (UKT). Menurut surat keputusan (SK) rektor UTI, pemberian sanksi skors dan DO lantaran mahasiswa tersebut dinilai melanggar kode etik mahasiswa dan melakukan kegiatan yang merusak citra kampus. Aktivitas tersebut menyebabkan pihak UTI beberapa kali dipanggil dan ditemui pihak kelurahan setempat. Kampus juga khawatir yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut akan membangun jiwa ekstremisme dan radikalisme.
Pemberian sanksi tersebut membuat tiga dari sembilan mahasiswa tersebut menggugat pihak kampus.
Chandra Muliawan, Direktur LBH Bandar Lampung mengatakan, “Ya mereka ini menggugat supaya SK tersebut dicabut. Guggatan ini bukan untuk menjatuhkan sanksi ke pihak kampus,” jelasnya saat diwawancarai di depan Gedung Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), (26/8/2021).
Chandra menjelaskan, yang mengajukan gugatan hanya tiga mahasiswa saja, dua mahasiswa lainnya tidak ikut mengajukan karna sedang berada di kampung halaman. Sedangkan, empat mahasiswa lainnya lagi statusnya sudah kembali diaktifkan karna sudah meminta maaf kepada kampus.
“Ya ini artinya fakta baru yang terungkap sampai saat ini, bisa di cek langsung di PDDikti,” katanya.
Kamis, 26 Agustus 2021 sekitar pukul 10 pagi, dilalukakan sidang pemeriksaan terhadap saksi yang dihadirkan oleh penggugat atau mahasiswa. Terdapat dua saksi yang memberikan keterangan pada saat persidangan. Sebelum memberikan keterangan, kedua saksi yang hadir diminta melakukan sumpah di atas kitab agamanya masing-masing.
Berdasar keterangan saksi pertama yang merupakan salah satu perwakilan dari masyarakat setempat sekaligus pemilik tanah yang digunakan sebagai sekretariat kemahasiswaan Hima Teknik Sipil (Himateks), mahasiswa menggunakan tempat tersebut dengan izin dari ayahnya yang sudah meninggal dunia di tahun 2018. Menurutnya, jauh setelah mendapatkan izin, mahasiswa baru mendirikan bangunan semi permanen tersebut.
Ia menjelaskan terdapat meja dan kursi yang memang berasal dari mahasiswa tersebut. Ada pula atap yang terbuat dari asbes bekas. Namun, tidak ada sarana toilet di tempat tersebut. Meskipun begitu, ia mengatakan bahwa mahasiswa tidak pernah menggunakan toilet miliknya.
“Diberikan penerangan juga oleh warga untuk sekret tersebut,” ungkapnya ketika pihak tergugat bertanya perihal penerangan yang ada, Kamis (26/8/2021).
Kesekretariatan yang berada di jalan Pagaralam 1, Kelurahan Kedaton, Kota Bandar Lampung itu bersandingan dengan kantin miliknya.
“Aktivitas mahasiswa biasanya ngikut jam buka kantin. Kalau pun melebihi, waktu tetap kami batasi hingga pukul 10-12 malam,” jelasnya.
Lanjutnya, ia menuturkan bahwa mahasiswa tidak pernah membuat keributan atau mengajak masyarakat sekitar untuk ikut bergabung. Menurutnya, mahasiswa biasanya hanya mengerjakan tugas, berdiskusi, makan bersama, atau sekadar bernyanyi dengan diiringi gitar.
“Kalau sampai ngerakit bom gitu, tidak ada,” katanya.
UTI menyebut keberadaan kesekretariatan itu merupakan aset atau jalan menuju ke masjid Asmaul Yusuf yang berada di dalam kampus. Namun, saksi yang hadir mengatakan bahwa jalan menuju ke masjid tidak melalui jalan tersebut.
Sementara itu, Gede, saksi kedua yang memberikan keterangan berasal dari alumni Teknik Sipil UTI yang juga pernah menjabat di Himateks tersebut. Ia menuturkan bahwa keberadaan Hima ini sudah dilakukan pengesahan dan pelantikan secara langsung oleh dekan dan wakil rektor di tahun 2017.
Saat persidangan, ia menjelaskan bahwa dahulunya sempat beberapa kali anggota hima meminta diberikan kesekretariatan oleh pihak kampus. Namun hal tersebut tidak pernah dipenuhi.
“Waktu itu jawabannya disuruh ngelakuin kegiatan di luar saja, kayak di kafe gitu,” tuturnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa keberadaan kesekretariatan ini sudah ada sejak ia belum menjabat. Himateks juga ungkapnya pernah sekali menerima aliran dana dari UTI. Namun, tidak pernah diberikan fasilitas sarana dan pra sarana dari pihak kampus. Tak hanya itu menurutnya, ada ormawa lain yang juga memiliki kesekretariatan di luar kampus.
Gede lanjut menjelaskan perihal akses menuju kesekretariatan atau yang acapkali disebut sebagai basecamp tersebut.
“Aksesnya hanya satu gerbang, ini terdapat kuncinya untuk menjaga barang-barang kami dari kehilangan. Pemilik kuncinya itu dari kami juga pemilik tanah,” katanya.
Berdasar keterangan saksi, sempat beberapa kali terdapat sidak yang dilakukan oleh Babinkamtibmas. “Mereka cuma menghimbau saja untuk tidak terlalu malam, memang sempat beberapa kali datang, biasanya kalau datang jam 7 malam,” jelasnya.
Di sisi lain, Chandra mengatakan kasus skorsing dan DO ini termasuk dalam pelanggaran. Hal tersebut yang membuat LBH Bandar Lampung ikut mendampingi mahasiswa tersebut.
“Ada juga kejanggalan terkait SK yang dikeluarkan oleh pihak Rektor UTI yang menilai bahwa mahasiswa melakukan kegiatan yang mengarah pada tindakan Ekstremisme dan Kriminalisme,” kata Chandra.
Dalam persidangan kali ini pihak LBH mengungkapkan adanya fakta terbaru yang dapat menjadi pertimbangan untuk diajukan di persidangan berikutnya terkait SK yang dikeluarkan oleh pihak UTI. Pasalnya menurut Chandra terdapat timpang perlakuan yang dilakukan oleh pihak kampus. Hal tersebut dilihat dari beberapa mahasiswa yang melakukan permintaan maaf dan tidak menggugat ke pengadilan statusnya kembali diaktifkan.
“Bukannya membandingkan, SK tersebut keluar berdasarkan apa, apakah mereka ini (mahasiswa) harus ampun sujud terhadap pihak kampus agar mereka dapat melanjutkan perkuliahan,” katanya.
Ia menyebut, LBH telah mengirimkan surat ke UTI, atas nama kuasa Hukum Mahasiswa. Surat tersebut untuk meminta informasi publik, tata cara, dan syarat ketentuan terkait pengaktifkan data mahasiswa pada pangkalan dikti.
Rencananya sidang lanjutan akan dilaksanakan pada Rabu, (1/9/2021) bertepatan di PTUN Bandar Lampung. Pihak LBH berencana untuk mendatangkan para ahli dan saksi tambahan di persidangan selanjutnya.
“Kita datangkan ahli untuk menguji terkait SK yang dikeluarkan oleh UTI ini apa benar secara aturan, norma hukum dan secara asasnya,” kata Chandra.
Dengan begitu SK tersebut nantinya akan diuji kembali oleh pihak LBH kepada pengadilan. Pihak LBH juga berharap kepada majelis hakim untuk bersikap netral.
Pihak LBH juga mengungkapkan harapannya supaya pihak UTI dapat mencabut point-point yang terdapat dalam SK.
“Sampai tahap ini para mahasiswa bukan untuk menentang rektor melainkan hanya ingin melanjutkan study mereka,” ujar Chandra.
Ahmad Mu’fatus Sifa’I, salah satu mahasiswa yang menjadi korban skorsing dua semester dari pihak UTI mengungkapkan rasa kekecewaanya, pasalnya ia tidak mengerti bagian mereka melakukan kesalahan hingga mengakibatkan dijatuhkannya sanksi skorsing dah DO tersebut. Dengan adanya hal ini Ahmad Mu’fatus merasa banyak tekanan yang ia dapatkan.
“Tekanannya banyak, pertama dari lingkungan, lalu dari pihak kampus dan juga keluarga,” ujar Fatus ketika ditemui di PTUN (26/8/2021).
Namun Fatus mengatakan hanya sebagian keluarganya saja yang sudah mengetahui tentang hal ini. Fatus merupakan salah satu dari tiga mahasiswa yang menggugat pihak kampus.
Ia berharap segera bisa lepas dari masalah tersebut sehingga dapat melanjutkan pendidikannya. Terlebih, seharusnya Fatus sudah duduk di semester sembilan saat ini.
“Ya semoga bisa lepas dari masalah semua ini, sehingga bisa kuliah lagi dengan normal, karena kami bukan mahasiswa radikal, semoga juga hal seperti ini tidak terjadi di mahasiswa lainnya,” harap Fatus.(*Egr)
Reporter:
Anisa Dwi Heriyani
Osama Isro Mubarak