Tragedi Talangsari : Segera Tuntaskan Kasus Ini!
Sukma_Polinela; 7 Februari 1989,tepat 31 tahun yang lalu. Terjadi tragedi pembantaian di Lampung Timur tepatnya di Dusun Talangsari yang saat ini telah berganti nama menjadi Dusun Subing Putra Tiga. Dusun ini menjadi saksi bisu atas pembantaian yang dilakukan Kolonel AM Hendro priyono bersama dengan tiga peleton Batalyon 143 dan satu peleton Brigade Mobil (Brimob) karena dituduh akan mendirikan Negara Islam Indonesia.
Berdasarkan catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat terdapat sedikitnya 130 orang terbunuh, 77 orang dipindahkan secara paksa, dan 33 orang dirampas hak nya secara sewenang-wenang, serta 43 orang disiksa dalam Tragedi Talangsari ini.
Hari ini, 7 Februari 2020, diadakan diskusi publik dan memorabilia peringatan 31 tahun tragedi Talangsari. Diskusi yang bertemakan “Kilas Balik 31 Tahun Tragedi Kemanusiaan Talangsari Lampung” diadakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Doesoen Coffe, Jalan Pagar Alam No. 133 Bandarlampung.
Diskusi ini menghadirkan narasumber Hermansyah Saleh dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Lampung dan Ahmad Suaedy (Komisioner Ombudsman RI). Selain itu ada Feri Kusuma dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Cik Ali (LBH Bandarlampung) dengan Hendri Sihaloho selaku Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung sebagai moderator pada diskusi ini. Pada diskusi ini turut serta menghadirkan keluarga korban Talangsari yang tergabung dalam Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL) bersama dengan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK).
Hermansyah Saleh mengatakan bahwa pemerintah pusat sudah memiliki semacam komitmen dan dukungan untuk menangani kasus Talangsari tersebut. Pemerintah sudah membentuk Tim Terpadu untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Bentuk implementasi dari pemerintah salah satunya, pada 20 Februari 2019 Tim Terpadu menyaksikan dan datang langsung kedaerah Talangsari untuk mendapatkan informasi situasi dan kondisi terkait peristiwa Talangsari. Menurut beliau, Pemerintah Provinsi Lampung hanya memiliki kewenangan untuk memfasilitasi dan mengkoordinasi saja.
Komisioner Ombudsman RI Ahmad Suaedy menyatakan Ombudsman tidak bisa berbuat banyak karena tidak mempunyai kewenangan lebih. “Tragedi Talangsari menjadi perhatian pihak Ombudsman, namun kami tidak bias berbuat banyak, Kami hanya bisa mendorong Kemenkopolhukam untuk dapat segera menyelesaikan kasus ini,” ujarnya.
Seluruh pihak yang terlibat dalam diskusi itu sependapat bahwa pemerintah kabupaten, provinsi, maupun pusat harus memberi perhatian lebih terhadap kasus ini untuk segera menuntaskannya.
Kasus ini memang harus segera dituntaskan, pasalnya Amir (75), mantan guru Sekolah Dasar (SD) selaku saksi mata sekaligus korban tragedi Talangsari yang hadir pada diskusi tersebut menyatakan bahwa telah terjadi diskriminasi di dusun tempat terjadinya tragedi itu. “Sejak tragedi ini terjadi, kami selalu mengalami diskriminasi. Hal itu terlihat dari infrastruktur desa yang tak kunjung mendapat perhatian pemerintah, sulit mendapat pelayanan publik, dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Melalui kegiatan diskusi yang diadakan ini diharapkan mampu memperpanjang napas korban dalam melakukan advokasi kasusnya yang masih stagnan dengan mengajak peran serta pemerintah daerah untuk lebih proaktif memperhatikan hak-hak korban dan turutan di dalam proses pemulihannya. Kegiatan ini juga diharapkan mampu memberikan edukasi kepada masyarakat di Lampung terkait peristiwa Talangsari. Penyebaran informasi ke publik juga sebagai salah satu bentuk upaya menghadirkan kebenaran peristiwa ini melalui suara korban.
Reporter :
Komang Ria Triyani
Heriyanto Saputra